By: Wulan
Barokah
Cinta Dalam Diam
Fajar Sidiq tak pernah lalai
membangunkanku setiap hari. Bergegas aku pergi dari pulau kapuk yang seolah
mencegahku untuk berpaling darinya. Namun, selalu kucoba untuk segera beralih
dan mensucikan diri lalu sholat berjama’ah di masjid dekat asramaku. Di
asramaku istana keduaku, berlaku banyak sekali peraturan, salah satunya sholat
berjama’ah di masjid. Dan siapa saja yang melanggarnya pasti mendapat hukuman
yang sesuai dengan apa yang telah dilanggar. Hukuman itu seolah-olah menjadi
mata-mata yang bisa kapan saja menangkap kalalaianku. Awalnya memang terpaksa,
tapi semua sudah menjadi biasa.
Sejak SMA aku selalu aktif
berorganisasi. Salah satunya organisasi baru yakni Rohis. Rohis itu singkatan
dari Rohani Islam. Aku dan teman-teman memulai organisasi ini dari nol. Waktu
itu organisasi ini diketuai oleh seorang yang juga menjabat sebagai ketua OSIS.
Menurutku dia adalah sesosok yang berbeda. Astagfirullah!! Aku tak dapat memungkiri rasa
kekaguman ini. Aku sadar aku ngga sebaik dia. Perasaan ini hanya berhenti di
dalam hati ini. Hati yang paling dalam. Tak ada seorangpun yang tahu kecuali
aku dan Allah. Dia laki-laki yang indah rupanya dan juga baik hatinya. Wajar
saja kalau banyak teman-teman wanitaku yang mengaguminya. Aku yakin pasti dia
lebih memilih wanita yang cantik dan baik. Aku sadar, aku bukan seorang wanita
yang modis apalagi cantik. Penampilanku sangat tak modern dengan jilbab
membentang hampir menutupi tubuhku. Aku hanya seorang akhwat biasa yang hanya
bisa diam memendam rasa ini. Rasa yang tak dapat kupungkiri. Rasa yang pasti
dirasakan oleh semua insan bernyawa. Rasa yang kebanyakan pujangga mengatakan
bahwa rasa ini memiliki bejuta-juta rasa. Ya, aku merasakannya. Sekarang aku benar-benar
merasakan yang namanya jatuh cinta.
“ Ya Allah, jika dia memang jodohku,
aku mohon pertemukanlah kami kembali disuatu hari nanti “ ucapku di setiap sujud
malamku. Hari-hari kulewati tidak seperti biasanya. Perasaanku tak menentu.
Sungguh rasanya aku tak kuasa untuk menahan rasa ini. Tapi aku coba menahan.
Kualihkan semua itu dengan banyak mengingat Allah. Kusibukan diriku dengan
kegiatan-kegiatan organisasiku. Belum lagi setiap kegiatan Rohis aku pasti
bertemu dengan nya. Dengan seorang yang menguasai perasaanku. Tapi aku harus
kuat. Aku harus tahan. Rasa ini ngga boleh terus berlanjut. Aku sadar semua ini
memang sudah fitrah yang Allah berikan kepada setiap makhluknya. Ingin rasanya
menghilangkan perasaan ini. Tapi ku tak kuasa.
Tak terasa tahun ini adalah tahun
kelulusan bagi angkatan 2008. Tak terkecuali aku. Alhamdulillah tahun ini lulus
seratus persen. Kebanyakan teman-temanku melanjutkan studi lanjutan. Namun aku
memilih untuk tetap tinggal dan mengbdi di pondokku.
***
Tiga tahun setelah kelulusan terasa
seperti satu hari. Tak terasa aku sudah lama tak dengar kabar tentangnya,
bahkan aku tak tahu sekarang dia ada dimana. Tapi walau begitu, rasa ini masih
tetap sama seperti dahulu pertama kali aku mangenalnya. Tak ada yang berubah.
Seolah semua rasa ini sudah terpatri di hatiku. Hati yang terdalam. Aku duduk
dalam lamunanku. Di depan jendela kamar kecil dengan suasana hangat penuh
keakraban. Bagamaimana tidak, enam tahun lamanya aku menempati kamar ini.
Tiba-tiba suara berwibawa mengusik lamunanku. Aku tersentak dan sedikit gugup.
“ Yanti, apakah kamu sudah siap untuk menikah? “ tanya seorang ustadzahku. Aku
tercengang mendengar pertanyaan itu. Aku bingung harus jawab apa. “ InsyaALLAH
siap bu, jikalau sudah ada calonnya. “ jawabku dengan sopan. Aku sendiri tak
sadar menjawab seperti itu. Tapi entah kanapa aku begitu yakin dengan jawaban
itu.
Keesokan paginya, aku dipanggil oleh
ustadzku untuk menemuinya di ruang kerjanya. Sungguh, aku bingung, rasanya aku
tak pernah melanggar peraturan. Aku berjalan dengan tubuh sedikit gemetar
membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Ketika ku memasuki kantor, disana
juga ada sesosok laki-laki yang perawakannya tak asing bagiku. Dia berbadan
tinggi, berkulit sawo matang, dan dengan sedikit jenggot yang ada di dagunya.
Sepertinya aku mengenali orang ini. Tapi siapa??. Wajahnya tak asing bagiku.
Aku ingat jelas. Tapi kucoba untuk tidak mempercayai ingatanku. Apakah mungkin
laki-laki itu dia yang selama ini ku tunggu??
“ Assalamualaikum pak, boleh saya
masuk? “ kataku. “ Waalaikumussalam, ya Yanti masuk dan duduklah. “ jawab
ustadzku. Ternyata memang benar dia adalah Joko. Joko laki-laki yang selama ini
ku tunggu. Laki-laki yang aku cintai karena Allah. “ Yanti, ini nak Joko, kamu
masih ingat kan? Dia kemari ingin bertemu teman lama katanya, he he. “ kata
ustadzku meledek. “ Oh, iya ustadz, saya masih ingat. “ timpalku. Jantungku
mulai berdegup kencang. Keringatpun bercucuran bak embun dipagi hari. Kami
bertiga berbincang kesana-kamari. Seolah-olah suasana seperti reuni. Kami
bernolstalgia mengingat masalalu. Suasana menjadi tegang ketika Joko
melontarkan pertanyaan kepadaku. “ Yanti, saya ingin bertanya denganmu, apakah
kamu sudah mempunyai calon suami? “ tanya Joko kepadaku. Aku tak menyangka dia
akan bertanya seperti itu padaku. “ Alhamdulillah saya belum punya, kenapa? “
jawabku. “ Yanti maukah kamu menikah dengan saya? “ katanya kepadaku. Aku
terkejut. Tak tahu ekspresi apa yang harus kuungkapkan. Aku senang sekali.
Penantianku selama ini menjadi kenyataan. Aku menganggukkan kepala tanda
menerima lamarannya.