Rabu, 25 Februari 2015



By: Wulan Barokah
Cinta Dalam Diam
            Fajar Sidiq tak pernah lalai membangunkanku setiap hari. Bergegas aku pergi dari pulau kapuk yang seolah mencegahku untuk berpaling darinya. Namun, selalu kucoba untuk segera beralih dan mensucikan diri lalu sholat berjama’ah di masjid dekat asramaku. Di asramaku istana keduaku, berlaku banyak sekali peraturan, salah satunya sholat berjama’ah di masjid. Dan siapa saja yang melanggarnya pasti mendapat hukuman yang sesuai dengan apa yang telah dilanggar. Hukuman itu seolah-olah menjadi mata-mata yang bisa kapan saja menangkap kalalaianku. Awalnya memang terpaksa, tapi semua sudah menjadi biasa.
          Sejak SMA aku selalu aktif berorganisasi. Salah satunya organisasi baru yakni Rohis. Rohis itu singkatan dari Rohani Islam. Aku dan teman-teman memulai organisasi ini dari nol. Waktu itu organisasi ini diketuai oleh seorang yang juga menjabat sebagai ketua OSIS. Menurutku dia adalah sesosok yang berbeda.  Astagfirullah!! Aku tak dapat memungkiri rasa kekaguman ini. Aku sadar aku ngga sebaik dia. Perasaan ini hanya berhenti di dalam hati ini. Hati yang paling dalam. Tak ada seorangpun yang tahu kecuali aku dan Allah. Dia laki-laki yang indah rupanya dan juga baik hatinya. Wajar saja kalau banyak teman-teman wanitaku yang mengaguminya. Aku yakin pasti dia lebih memilih wanita yang cantik dan baik. Aku sadar, aku bukan seorang wanita yang modis apalagi cantik. Penampilanku sangat tak modern dengan jilbab membentang hampir menutupi tubuhku. Aku hanya seorang akhwat biasa yang hanya bisa diam memendam rasa ini. Rasa yang tak dapat kupungkiri. Rasa yang pasti dirasakan oleh semua insan bernyawa. Rasa yang kebanyakan pujangga mengatakan bahwa rasa ini memiliki bejuta-juta rasa. Ya, aku merasakannya. Sekarang aku benar-benar merasakan yang namanya jatuh cinta.
          “ Ya Allah, jika dia memang jodohku, aku mohon pertemukanlah kami kembali disuatu hari nanti “ ucapku di setiap sujud malamku. Hari-hari kulewati tidak seperti biasanya. Perasaanku tak menentu. Sungguh rasanya aku tak kuasa untuk menahan rasa ini. Tapi aku coba menahan. Kualihkan semua itu dengan banyak mengingat Allah. Kusibukan diriku dengan kegiatan-kegiatan organisasiku. Belum lagi setiap kegiatan Rohis aku pasti bertemu dengan nya. Dengan seorang yang menguasai perasaanku. Tapi aku harus kuat. Aku harus tahan. Rasa ini ngga boleh terus berlanjut. Aku sadar semua ini memang sudah fitrah yang Allah berikan kepada setiap makhluknya. Ingin rasanya menghilangkan perasaan ini. Tapi ku tak kuasa.
          Tak terasa tahun ini adalah tahun kelulusan bagi angkatan 2008. Tak terkecuali aku. Alhamdulillah tahun ini lulus seratus persen. Kebanyakan teman-temanku melanjutkan studi lanjutan. Namun aku memilih untuk tetap tinggal dan mengbdi di pondokku.
***
          Tiga tahun setelah kelulusan terasa seperti satu hari. Tak terasa aku sudah lama tak dengar kabar tentangnya, bahkan aku tak tahu sekarang dia ada dimana. Tapi walau begitu, rasa ini masih tetap sama seperti dahulu pertama kali aku mangenalnya. Tak ada yang berubah. Seolah semua rasa ini sudah terpatri di hatiku. Hati yang terdalam. Aku duduk dalam lamunanku. Di depan jendela kamar kecil dengan suasana hangat penuh keakraban. Bagamaimana tidak, enam tahun lamanya aku menempati kamar ini. Tiba-tiba suara berwibawa mengusik lamunanku. Aku tersentak dan sedikit gugup. “ Yanti, apakah kamu sudah siap untuk menikah? “ tanya seorang ustadzahku. Aku tercengang mendengar pertanyaan itu. Aku bingung harus jawab apa. “ InsyaALLAH siap bu, jikalau sudah ada calonnya. “ jawabku dengan sopan. Aku sendiri tak sadar menjawab seperti itu. Tapi entah kanapa aku begitu yakin dengan jawaban itu.
          Keesokan paginya, aku dipanggil oleh ustadzku untuk menemuinya di ruang kerjanya. Sungguh, aku bingung, rasanya aku tak pernah melanggar peraturan. Aku berjalan dengan tubuh sedikit gemetar membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Ketika ku memasuki kantor, disana juga ada sesosok laki-laki yang perawakannya tak asing bagiku. Dia berbadan tinggi, berkulit sawo matang, dan dengan sedikit jenggot yang ada di dagunya. Sepertinya aku mengenali orang ini. Tapi siapa??. Wajahnya tak asing bagiku. Aku ingat jelas. Tapi kucoba untuk tidak mempercayai ingatanku. Apakah mungkin laki-laki itu dia yang selama ini ku tunggu??
          “ Assalamualaikum pak, boleh saya masuk? “ kataku. “ Waalaikumussalam, ya Yanti masuk dan duduklah. “ jawab ustadzku. Ternyata memang benar dia adalah Joko. Joko laki-laki yang selama ini ku tunggu. Laki-laki yang aku cintai karena Allah. “ Yanti, ini nak Joko, kamu masih ingat kan? Dia kemari ingin bertemu teman lama katanya, he he. “ kata ustadzku meledek. “ Oh, iya ustadz, saya masih ingat. “ timpalku. Jantungku mulai berdegup kencang. Keringatpun bercucuran bak embun dipagi hari. Kami bertiga berbincang kesana-kamari. Seolah-olah suasana seperti reuni. Kami bernolstalgia mengingat masalalu. Suasana menjadi tegang ketika Joko melontarkan pertanyaan kepadaku. “ Yanti, saya ingin bertanya denganmu, apakah kamu sudah mempunyai calon suami? “ tanya Joko kepadaku. Aku tak menyangka dia akan bertanya seperti itu padaku. “ Alhamdulillah saya belum punya, kenapa? “ jawabku. “ Yanti maukah kamu menikah dengan saya? “ katanya kepadaku. Aku terkejut. Tak tahu ekspresi apa yang harus kuungkapkan. Aku senang sekali. Penantianku selama ini menjadi kenyataan. Aku menganggukkan kepala tanda menerima lamarannya.

0 komentar :

Posting Komentar